itqanpeduli.com - Bagi sebagian investor, berinvestasi tidak hanya sekadar mengejar cuan duniawi. Makanya, investasi yang sesuai prinsip syariah juga semakin banyak diburu, termasuk dalam investasi emas logam mulia.
Emas telah lama menjadi salah satu instrumen investasi yang disukai karena memiliki sejumlah kelebihan antara lain dipercaya kebal terhadap inflasi dan nilainya terus naik meski perlahan. Tapi, apakah investasi emas khususnya yang berupa menabung emas itu halal (diperbolehkan) dan sesuai syariat Islam ?
Melansir laman sahabat pegadaian menurut Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, menabung emas diperbolehkan (halal) selama emas yang dibeli tersebut ada wujudnya atau bukan berupa emas fiktif, jelas spesifikasinya serta bisa diserahterimakan, baik saat pembelian maupun penitipan.
pandangan mengenai jual beli emas secara tidak tunai.
Jika menelaah literatur fikih klasik, kontemporer, serta pandangan otoritas fatwa nasional dan internasional, maka akan ditemukan pandangan yang membolehkan dan tidak memperbolehkan jual beli emas secara tidak tunai. Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI sebagai otoritas fatwa memilih pandangan yang membolehkan sebagaimana fatwa DSN MUI Nomor 77/DSN-MUI/VI/2010 tentang Jual-Beli Emas secara Tidak Tunai.
Di sisi lain, disebutkan bahwa sebagaimana kaidah fikih yaitu keputusan pemerintah (otoritas) itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan perbedaan pendapat (di antara masyarakat). (as-Suyuthi, al- Asybah wan Nazhair: 497).
Perbedaan Pendapat Para Ulama
Pendapat pertama haram; ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan argumen (istidlal) berbeda-beda. Argumen paling menonjol dalam pendapat ini adalah bahwa uang kertas dan emas merupakan tsaman (harga, uang), sedangkan tsaman tidak boleh diperjualbelikan kecuali secara tunai. Hal ini berdasarkan hadits ‘Ubadah bin al Shamit bahwa Nabi SAW bersabda, 'Jika jenis (harta ribawi) ini berbeda, maka jual belikanlah sesuai kehendakmu apabila dilakukan secara tunai.'
Pendapat kedua, boleh (jual beli emas dengan angsuran). Pendapat ini didukung oleh sejumlah fuqaha masa kini, di antara yang paling menonjol adalah Syeikh Abdurahman As-Sa’di. Meskipun mereka berbeda dalam memberikan argumen (istidlal) bagi pandangan tersebut, hanya saja argumen yang menjadi landasan utama mereka adalah pendapat yang dikemukakan oleh Syeikh al-Islam Ibnu Taymiyah dan Ibnul Qayyim mengenai kebolehan jual beli perhiasan (terbuat emas) dengan emas, dengan pembayaran tangguh.
Mengenai hal ini Ibnu Taymiyyah menyatakan dalam kitab al-Ikhtiyarat (lihat ‘Ala’ al-Din Abu al-Hasan al-Ba’liy al-Dimasyqiy, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah min Fatawa Syaikh Ibn Taimuyah, al-Qahirah, Dar al Istiqamah, 2005, h. 146): "Boleh melakukan jual beli perhiasan dari emas dan perak dengan jenisnya tanpa syarat harus sama kadarnya (tamatsul), dan kelebihannya dijadikan sebgaai kompensasi atas jasa pembuatan perhiasan, baik jual beli itu dengan pembayaran tunai maupun dengan pembayaran tangguh, selama perhiasan tersebut tidak dimaksudkan sebagai harga (uang)."
Ibnul Qayyim menjelaskan lebih lanjut: "Perhiasan (dari emas atau perak) yang diperbolehkan,karena pembuatan (menjadi perhiasan) yang diperbolehkan, berubah statusnya menjadijenis pakaian dan barang,bukan merupakan jenis harga (uang)." Karena itu, tidak wajib zakat atas perhiasan (yang terbuat dari emas atau perak) tersebut, dan tidak berlaku pula riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak berlaku riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama. Hal itu karena dengan pembuatan (menjadi perhiasan) ini, perhiasan (dari emas) tersebut telah keluar dari tujuan sebagai harga (tidak lagi menjadi uang) dan bahkan telah dimaksudkan untuk perniagaan.
Karena itu, tidak ada larangan untuk memperjualbelikan perhiasan emas dengan jenis yang sama...” (I’lam al-Muwaqqi’in; 2/247).
Info nabung dapat emas tanpa di undi bmtitqan.com
Jabat erat
itqan peduli
Ibnul Qayyim menjelaskan lebih lanjut: "Perhiasan (dari emas atau perak) yang diperbolehkan,karena pembuatan (menjadi perhiasan) yang diperbolehkan, berubah statusnya menjadijenis pakaian dan barang,bukan merupakan jenis harga (uang)." Karena itu, tidak wajib zakat atas perhiasan (yang terbuat dari emas atau perak) tersebut, dan tidak berlaku pula riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak berlaku riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama. Hal itu karena dengan pembuatan (menjadi perhiasan) ini, perhiasan (dari emas) tersebut telah keluar dari tujuan sebagai harga (tidak lagi menjadi uang) dan bahkan telah dimaksudkan untuk perniagaan.