Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat bahwa Indonesia kini berada di posisi ketujuh sebagai ekonomi terbesar dunia. Berdasarkan data IMF, peringkat tersebut dihitung berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) yang disesuaikan dengan paritas daya beli (PPP) pada 2024. Indonesia menempati posisi kedelapan dengan PDB mencapai US$4,66 triliun. Sementara itu, Prancis dan Inggris berada di urutan kesembilan dan kesepuluh dengan PDB masing-masing sebesar US$4,36 triliun dan US$4,28 triliun.
Di urutan pertama terdapat China dengan PDB sebesar US$37,07 triliun, diikuti oleh Amerika Serikat dengan PDB sebesar US$29,17 triliun, dan India di posisi ketiga dengan PDB senilai US$17,36 triliun. Meskipun Indonesia masuk dalam 10 besar, laporan World Economic Outlook (WEO) IMF edisi Januari 2025 memperkirakan pertumbuhan global hanya akan mencapai 3,3% pada 2025 dan 2026, yang merupakan penurunan dibandingkan dengan rata-rata historis 3,7% pada periode 2000-2019.
IMF menegaskan bahwa proyeksi untuk tahun 2025 tidak mengalami perubahan signifikan dibandingkan dengan WEO Oktober 2024. Hal ini terutama dipengaruhi oleh revisi ke atas untuk Amerika Serikat, yang menyeimbangkan revisi ke bawah di beberapa negara ekonomi utama lainnya. Inflasi global diperkirakan akan turun menjadi 4,2% pada 2025 dan 3,5% pada 2026, kembali ke target negara-negara maju lebih cepat dibandingkan negara berkembang.
Kepala Ekonom IMF, Pierre Oliver Gourinchas, menjelaskan bahwa penurunan inflasi ini diharapkan dapat mengakhiri gangguan global yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, termasuk pandemi dan invasi Rusia ke Ukraina yang memicu lonjakan inflasi terbesar dalam empat dekade. Meskipun demikian, Gourinchas juga mengingatkan bahwa ketidakpastian kebijakan ekonomi akan meningkat, dengan banyak pemerintahan baru yang terpilih pada 2024.
Dia menambahkan bahwa perbaikan ekonomi di AS, yang dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan dan penurunan pasokan, kemungkinan akan memicu tekanan harga baru di AS. Dampaknya terhadap output ekonomi masih belum jelas dalam jangka pendek, namun inflasi yang lebih tinggi dapat menghalangi Federal Reserve untuk memangkas suku bunga dan bahkan dapat memicu kenaikan suku bunga. Hal ini berpotensi memperkuat dolar AS dan memperburuk defisit eksternal negara tersebut.
Kebijakan moneter yang lebih ketat di AS dan dolar yang lebih kuat akan memperketat kondisi keuangan, terutama untuk pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang. Para investor sudah mengantisipasi hal ini, dengan dolar AS menguat sekitar 4% sejak pemilu November lalu.
Jabar erat
itqan peduli
Sumber: cnbcindonesia.com