Presiden Prabowo Subianto mengarahkan kebijakan efisiensi dalam pengelolaan anggaran negara. Upaya ini dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN, dengan target penghematan sebesar Rp306,69 triliun.
Dua sektor utama yang mengalami pemangkasan adalah anggaran kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp256,1 triliun serta dana transfer ke daerah (TKD) senilai Rp50,59 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa langkah ini bertujuan untuk mengalokasikan anggaran secara lebih efektif, termasuk dalam mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Di sisi lain, Kementerian Transmigrasi menghadapi defisit anggaran Rp50 miliar untuk pembayaran gaji pegawai akibat pemangkasan anggaran. Menteri Iftitah Sulaiman Suryanagara menyatakan bahwa pihaknya akan mengajukan tambahan dana kepada bendahara umum negara. Sementara itu, di Kementerian Pekerjaan Umum, sekitar 18 ribu pegawai kontrak terpaksa dirumahkan karena pemotongan anggaran sebesar 80 persen atau Rp81,38 triliun, yang menyebabkan penundaan perpanjangan kontrak kerja.
Dampak pemangkasan anggaran terhadap perekonomian nasional menjadi perhatian sejumlah ekonom. Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M Rizal Taufikurahman, menilai bahwa kebijakan ini dapat meningkatkan angka pengangguran, melemahkan daya beli masyarakat, serta menghambat konsumsi domestik yang menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pemotongan anggaran infrastruktur dikhawatirkan dapat mengurangi daya saing nasional serta kepercayaan investor swasta.
Ekonom IDEAS, Shofie az Zahra, menambahkan bahwa meskipun program MBG dapat meningkatkan kesejahteraan individu dan sektor pangan, efeknya tidak cukup untuk mengimbangi dampak luas dari efisiensi anggaran. Hilangnya lapangan kerja akibat pemotongan anggaran dapat melemahkan konsumsi masyarakat dan berdampak pada berbagai sektor, termasuk ritel, transportasi, dan jasa. Selain itu, pemangkasan anggaran di sektor layanan publik berisiko menurunkan kualitas pelayanan dan daya saing jangka panjang. Oleh karena itu, para ekonom menekankan perlunya kebijakan fiskal yang lebih seimbang dan inklusif guna memastikan keberlanjutan ekonomi serta perlindungan kesejahteraan sosial.
Jabar erat
itqan peduli
Sumber: cnnindonesia.com